CAROL (2015) - The Power of Gaze


CAROL (2015)

Holla, Viewers! Kembali lagi bersama saya manusia lemah tak berdaya yang sangat mudah dimanipulasi oleh rentetan film-film menghanyutkan. Lemah pula dikarenakan tidak bisa menahan 'tuk menyebar kebahagiaan absolut setelah menontonnya. Jujur, itu tujuan utama saya membuat blog ini. Agar kalian juga merasakan kebahagiaan yang saya rasakan. HAHA Jangan terharu, biasa aja.

Jadi film kali ini berjudul CAROL (2015). Film ini mendapat rating 7.2/10 oleh IMDB. Bagus, ya? BANGET. Malah menurut gue 8.0/10 kayaknya layak banget. Film ini dibintangi oleh Cate Blanchett ( semua sudah tau ye siapa dia, panutan semua wanita, Galadriel di LOTR dan Hela di Ragnarok) dan Rooney Mara ( yang ini terkenal karena sikapnya yang malu-malu gitu deh, cocok banget sama karakter yang dibawa, pemeran utama The Girl With  Dragon Tattoo). Disutradarai oleh Todd Haynes yang merupakan salah satu sutradara favorit gue. Dia sangat supel dan detail jika diwawancarai, serta kalian juga bisa lihat betapa bersemangatnya dia menjelaskan tentang film yang dia punya (banyak di youtube) . Entah kenapa gue sangat senang dengan orang yang sangat passionate dengan apa yang dia suka. Dapat terlihat pancaran-pancaran kebahagiaan dimata mereka dan percayalah itu momen yang langka.



Film ini berlatar waktu 1950an yang kebanyakan orang-orang berseliweran dengan pakaian elegan dan terlihat mahal. 
Dimulai dari scene awal adanya seorang wanita yang bekerja disebuah toko boneka dalam suasana natal. Wanita ini terlihat sangat pendiam dan pemalu, jauh disana ia melihat sosok wanita dewasa, dari tampilan luar terlihat lebih tua darinya. Pakaiannya sangat rapih dan elegan. Terjadilah dialog antara mereka berdua yang mana wanita dewasa ini ingin membeli kado natal untuk anaknya dan meminta bantuan untuk mencari yang terbaik. Setelah selesai transaksi, ternyata wanita pembeli ini tidak sengaja meninggalkan sarung tangannya. Lalu wanita muda ini menyimpannya. Dilihat dari perbedaan umur yang ada sudah tertebak yang memerani wanita dewasa adalah Cate Blanchett dan wanita muda Rooney Mara.

Therese (kiri) dan Carol (kanan)


Untuk review ini gue akan lebih detail dari biasanya karena memang sangat pantas dibahas dengan detail. Kenapa? Karena filmnya terlalu bagus untuk hanya dipuji-puji sekelibet saja. Toh, gue menemukan banyak banget yang bikin senyum-senyum terharu selama film berjalan. Karena ini bakal detail, disarankan nonton dulu baru baca ini ya! biar tidak ter-spoiler-kan.
Dapat kalian semua tebak kalau gue suka dengan film ini. YES benar sekali. Why? Sesimpel ini tipe gue banget. Gue kurang suka film yang visualnya gila-gilaan, budget super mahal, kostum harus futuristic, dll. Sebut saja seperti film-film Marvel. Maaf untuk fans garis keras, selera beda-beda, ya. Mohon maklum. Film ini bisa dibilang sunyi, kebanyakan hanya ber-scoring lantunan piano, biola, dan music-musik jazz. Tetapi ini yang membawa emosi kita terbangun untuk scene yang intens, seakan tersedot semakin dalam dan dalam. Sebagai contoh saat adegan Carol (Cate Blanchett) dan Therese (Rooney Mara) merayakan natal dirumah Carol. Therese tampak dengan anggun memainkan piano dan Carol memerhatikannya. Scene ini sangat menghipnotis saya sejenak. Sungguh indah bagaimana lantunan piano dimainkan Therese dan Carol – hanya menatap – sambil menyalakan sumbu rokoknya dengan tatapan kagum. Tidak, mereka tidak menjual dialog penuh romansa, tetapi lantunan piano ditambah close up wajah Carol sangat mampu berbicara ' love it really is there with them '.






Film ini sangat menitikberatkan pada ‘feel’, perasaan yang dapat tersalurkan hanya karena tatapan, senyuman, bahkan postur tubuh. Mari tonton dengan pikiran dan hati yang terbuka kalau sebenarnya rasa sayang itu sangat sederhana dan tidak membutuhkan effort gila-gilaan. Love is love. Itu yang paling muncul dipermukaan. Kalau kalian pikir bakal jijik nonton film ini, jujur saja saya juga berpikir demikian diawal-awal. Kenapa saya menontonnya? Karena Cate Blanchett. HAHA. Benar, tapi berakhir dengan sangat bersyukur. Apresiasi sebesar-besarnya untuk sinematografer termantap untuk mengatur segala angle yang ada. Ahhh iya! Kalau kalian perhatikan banyak sekali adegan Carol dan Therese di restaurant makan-makan cantik. Ini dia! Kekuatan dari segala kekuatan dimulai dari makan bareng. HAHA. Setiap dialog yang terlantunkan penyorotan mereka selalu satu sisi dan close up. Sangat jelas sang sutradara ingin mengambil setiap detail mimik wajah keduanya saat bercengkrama. Therese yang sangat kental memperlihatkan kekagumannya kepada Carol dengan mata yang berbinar dan menunduk karena malu-malu sedangkan Carol yang senantiasa pede untuk memajukan wajahnya ke Therese (terkadang) saat mereka berbicara dan tertawa. Gerak-gerik keduanya yang tidak berlebihan namun bermakna dan tersirat, sangat berhasil membangun chemistry keduanya tanpa adegan romansa yang murahan.



Apakah ada kekurangannya? kurang lama durasinya :( Jujur sampai segitunya. Tapi entah karena gue mengagumi mbak Cate atau bagimana setiap berdialog kebanyakan menyorot wajah polos Therese saja dikala Carol berbicara, jadi kesan ‘mengagumi’ lebih terasa oleh Therese kepada Carol (hanya dibagian Restaurant) tetapi untungnya terbayarkan discene-scene lainnya seperti pada bagian Abby (sahabat Carol) menanyakan kabar Therese kepadanya. WOW scene ini sangat kuat. Hanya dilontarkan kalimat ;

“ Therese? What about her? “ 

dengan mata yang ingin menangis tapi tertahan. Gue jujur saja kalau melihat ekspresi seperti itu sudah jelas menandakan rasa rindu, peduli, dan sakit yang super dalam. Hands down untuk kedua leading role ini. Akting mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Sampai berpikir “ Gue gabisa mikir artis lain yang bisa lebih baik meranin film ini dari mereka”. Apresiasi lagi buat Todd yang bisa banget mempercantik film ini dengan proporsi kasih antar kedua insan dengan adil. Pada awal sampai pertengahan, film ini mencoba menjelaskan keterkaguman dan kebingungan akan perasaan yang dialami Therese. Hal ini diperkuat dengan adanya penyorotan dua sosok wanita ditoko yang 'terlihat' memiliki hubungan saat Therese membeli kado natal untuk Carol. Tersirat makna yang sangat dalam, Therese melihat mereka dengan kebingungan dan matanya penuh dengan pertanyaan. Apakah ia dan Carol akan seperti mereka? Apakah yang sebenarnya ia inginkan? Bahkan dia sendiri tidak tahu kata yang tepat untuk meyakinkan dirinya sendiri. Memang benar kata orang, cinta adalah hal yang sulit untuk dijelaskan.

Dibagian tengah sampai akhir Carol yang awalnya terlihat sangat misterius dan kuat mulai perlahan tampak rapuh (perihal hak asuh anaknya) dan kebingungan untuk langkah apa yang harus ia ambil. Kembali ke suaminya atau mengejar kebahagiaannya? meanwhile, Therese sudah mulai yakin dengan apa yang dia inginkan. Tragic? yes. Seakan-akan film ini terus berputar antar Carol dan Therese yang tidak pernah bertemu pada titik yang tepat untuk saling meyakinkan satu sama lain. Sangat memainkan emosi dan jiwa. Keduanya saling menginginkan tetapi tidak lupa akan keadaan nyata masing-masing. Kalau kalian sudah terbawa alur emosi yang mendalam (maaf gue ada melankolisnya dikit), terlihat jelas usaha mereka untuk mengekang dirinya sebisa mungkin untuk menahan ketertarikan satu sama lain, tetapi kita sebagai penonton sudah jelas mengetahui apa yang mereka maksud. Lebih simpelnya malu-malu padahal mau.

Film ini juga menyiratkan pesan penguatan untuk wanita-wanita diseluruh pelosok dunia bahwa wanita juga kuat. Dilihat dari latar belakang Carol yang dengan sekuat tenaga hingga tangisnya pecah dan meninggalkan sisi ‘elegant and strong’ dia saat perbincangan dalam mempertahankan hak asuh anaknya. Jujur hampir saja gue ikutan nangis, tapi tetap saja gemetar. Ini scene terngiang-ngiang banget. Sampai gue berpikir ‘ Sekuat-kuatnya seseorang, pasti punya titik lemah karena besarnya rasa kasih yang dia miliki’. Therese juga tidak kalah memukau. Di awal dia diperkenalkan sebagai seorang pegawai toko tetapi dalam dirinya ingin menjadi fotografer. Dan dia bisa. Entah kenapa gue juga jadi semangat ingin meraih cita-cita gue yang absurd ini karena Therese. Thank you! HAHA.

Dilihat dari latar waktu film ini berkisar 1950an. Sangat jauh dibelakang. Tetapi ternyata kisah kasih seperti ini sudah ada bahkan ditengah-tengah perang dunia yang sedang hectic. Sang penulis juga menceritakan bahwa cerita ini sudah dia pikirkan sejak 18 tahun yang lalu. Lihatlah bagaimana cinta ala-ala seperti ini tidak ter-rentang oleh waktu. Disini juga tidak menekankan gender (yang gue lihat) lebih ke dua pribadi yang memiliki hati. Bener-bener gue melihat mereka sebagai dua insan yang saling mengasihi :( how sad.

Bagian termantap jiwa dari film ini adalah endingnya. MOHON KALIAN PERHATIKAN. Ending dari film ini sangat indah, menawan, menusuk, merobek, memahat, mengelupas, menarik, mendorong, jiwa raga tubuh serta apapun yang ada ditubuh gue. Sudah gue singgung bahwa scoring film ini banyak lantunan jazz, piano, dan biola. Pada endingnya ini semua bersatu. Saat Therese datang ke apartment Carol dan mencarinya, pengambilan kamera yang goyang-goyang penuh keraguan mengikuti arah pandang Therese, DIDUKUNG dengan lantunan jazz yang semakin lama semakin kuat dan intens. TITIK PUNCAK pada saat Carol tertawa-tawa dengan orang disekelilingnya (belum menyadari keberadaan Therese) dan ‘DUG’ Carol menghadap kamera dan menyadari Therese datang untuknya. Diawal ekspresi wajahnya datar, lalu agak tersenyum, dan barulah tersenyum. Matanya berbicara kebahagiaan, kesedihan, keterkejutan(?), dan pastinya kelegaan.

Agar kalian terbayang, lihatlah gambar dibawah ini.

bisa segitunya ya :( 



Untuk moral value dari film ini tidak perlu bertele-tele. Cinta itu sederhana dan perlu diperjuangkan. Sekian review dari gue. TONTON please. And let me know, ya!





by: Theresia Caroline

Comments

  1. Filmnya memang indah dan menawan... Sinematografinya mendukung juga tampil hangat, subtil tapi tetep kerasa nuansa brittle-nya...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Autopsy of Jane Doe (2016) - What Happened to Her?

Gone Girl (2014) - Wanita yang Hilang

Exam (2009) - Cobaan atau Ujian?