Ida (2013) - Two Faces



Ida (2013)



Menunggu pagi yang tak kunjung datang, saya memutuskan untuk memutar film Ida (2013) yang disarankan oleh banyak orang. Saya tidak berekspektasi tinggi untuk film ini karena ini pertama kalinya saya mencicipi film dari negara yang masih asing di telinga saya, Polandia.  Film asal Polandia ini disutradarai oleh Paweł Pawlikowski yang mendapat tuaian penghargaan diajang European Film Awards (EFA). Film ini memenangi lima penghargaan termasuk penghargaan film terbaik, sutradara terbaik dan film pilihan masyarakat, serta pemenang Oscar 2015 dalam kategori Best Foreign Language Film.

Film ini bercerita tentang seorang calon biarawati yang bernama Anna (Agata Trzebuchowska) yang mencari tahu keberadaan orang tuanya melalui bantuan bibinya, Wanda (Agata Kulesza) . Anna, yang digambarkan taat agama serta berperilaku benar bertolak belakang dengan bibinya yang nampak duniawi, mendapat fakta yang mengejutkan  bahwa dirinya seorang yahudi, turunan dari kedua orang tuanya yang tewas saat Perang Dunia II, dan ternyata nama aslinya ialah Ida.

Keheningan dari film ini sangat terasa─ hening yang dalam tetapi tidak kosong. Keheningan yang didukung dengan mimik wajah dari setiap karakter yang berperan mampu membuat saya ikut berpikir dan ikut terbawa suasana film ini. Tidak lebih tidak kurang, seperti ada takaran yang tepat disetiap detik yang berjalan. 

Sekilas diawal terlihat membosankan dan monoton, saya tidak akan heran jika ada yang beranggapan demikian. Hitam putih, segelintir soundtrack, pengambilan gambar yang monoton, semua terlihat sederhana. Justru kesederhanaan ini membuat saya akhirnya tertarik. Disini terlihat mahirnya Paweł Pawlikowski membungkus rapih filmnya dan menuntun penonton masuk serta ikut terperangkap dalam alur yang ada.

Banyak scene yang didominasi kesunyian tiap tokoh. Scene yang disengaja berhenti beberapa detik, tidak ada dialog pun pergerakan posisi kamera, bisa dibilang statis tetapi tetap bermakna. Berkali-kali disuguhkan pemain sibuk dengan pikirannya masing-masing, terdiam tanpa ekspresi. Ida, yang entah terlihat terkekang dengan status calon biarawatinya atau memang fokus pada pencarian makam orangtuanya, terlihat tepat dikeduanya. Wanda yang entah memikirkan apa, tetapi rasa sakit dan perih terlihat jelas tercetak dari raut wajahnya, mungkin ini cara  Paweł Pawlikowski menyampaikan kepada penonton bahwa mereka kacau, bingung, dan terpuruk. Unik? Memang.

Tidak unggul dari visualisasinya saja yang dikemas rapih, Ida juga punya keunggulan lain seperti segi pencahayaan yang tidak terlalu gelap ataupun terang, penempatan melodi-melodi yang Kristian Eidnes Andersen komposisikan juga menambah kesan manis tersendiri, seperti lantunan musik jazz yang mampu menyampaikan keseluruhan maksud ‘duniawi’ yang mungkin ingin disampaikan Paweł Pawlikowski . 

Putih hitam, kelebihan kekurangan, itulah hukum alam, pun dimiliki film ini. Entah saya yang kurang puas atau bagaimana, tetapi penutup dari keseluruhan film ini kurang tegas. Menggantung seperti pakaian dan menguap setelahnya. Hanya sedikit kekurangan pada bagian ini, sehingga tidak mengurangi betapa intensnya daya tarik yang ada (menurut saya). Mengganjal? Iya, tetapi tidak sampai sesak. 

Intinya film Ida ini layak mendapat segala penghargaan yang telah dicapai. Terutama bagaimana film ini menyentuh titik dasar emosional saya. Juga rentetan makna tersirat yang secara implisit disampaikan dapat tersalur halus dan dinamis sesuai ide yang ada. Saya menyukainya? Ya, tapi bukan untuk dinikmati secara rutin, hanya bukan salah satu genre favorit saya. 




by : Theresia Caroline



Comments

Popular posts from this blog

The Autopsy of Jane Doe (2016) - What Happened to Her?

Gone Girl (2014) - Wanita yang Hilang

Exam (2009) - Cobaan atau Ujian?